teett . . teeett . . teeeett . . . genta pergantian shift
berdentang.
Seorang gadis manis bergegas mengemasi perlengkapan
tempurnya ke dalam tas di sebuah ruang loker, tanda perang hari itu telah usai. Eits, ini
bukan gencatan senjata loh, hanya rutinitas seorang peon sebuah industri manufaktur ternama di wilayahnya. Sudah hampir dua tahun Tiana bertarung di
sana, semua terlihat abu-abu baginya.
Usai berkemas, ia
melangkah lincah mendekati pos absensi kepulangan.
“pulang Yah!”, sapanya
kepada seorang security di dekat pos, Tiana mengenalnya sejak kecil. Tidak bisa
tidak, Pak Milno ialah sahabat karib sang Ayah yang juga bekerja di sana
sebagai seorang electrician. Kedekatan mereka membuat satu sama lain menganggap
hubungannya selayak Ayah dan anak sendiri.
“sama Bapak?”, tanya
Pak Milno singkat, “engga ko, sendiri aja”,
sahutnya
“bareng Andra aja, dia
masuk udah seminggu di sini. Duduk dulu, sebentar lagi juga ke luar”, tawan Pak
Milno. Tiana pun manut, hingga datang tersangka tak lama setelahnya,
“pulang
duluan ya Pak” terdengar lugas sambil mencium tangan bos besar, Pak Milno, sang
Ayah.
“iya, ini si Tiana biar
bareng pulangnya”, perintah si bos pada Andra. “ohh, ayo!” ajaknya.
Walau akrab dengan Pak Milno, tapi Tiana belum mengenal anak-anaknya. Ini kali kedua Tiana bertemu Andra. Sebelumnya Andra pernah mengantar Ibunya ke rumah Tiana untuk belajar meronce pernak-pernik dari Ibu Tiana, namun keduanya acuh.
Tiana dan Andra pun berlalu. Rumah keduanya memang searah, selepas
itu intensitas berangkat dan pulang bersama tak terelakan lagi. Ya dari
sinilah takdir pertama dimulai. Bermula dari usul Pak Milno yang sudah pasti
digerakan oleh Tuhan.
Kebersamaan Tiana dan
Andra mulai berwarna. Disadari atau tidak, hati keduanya telah memerahmuda
beriringan dengan pergantian siang dan malam. Bagaimana tidak? Tujuh hari
seminggu, mereka terpisah jarak hanya selama 9 jam di penghujung harinya,
selebihnya berada dan beraktifitas di tempat, jalan, dan waktu yang sama.
Meski Andra sangat jengkel dengan aroma merah muda,
namun ia
tetap tak dapat mangkir bahwa merah muda itu ada,
manisnya terasa, indah, dan nyata.
manisnya terasa, indah, dan nyata.